Selasa, 08 Januari 2013

MUSIK KLASIK

Musik klasik

Musik klasik merupakan istilah luas yang biasanya mengarah pada musik yang dibuat di atau berakar dari tradisi kesenian Barat, musik kristiani, dan musik orkestra, mencakup periode dari sekitar abad ke-9 hingga abad ke-21.[1]
Musik klasik Eropa dibedakan dari bentuk musik non-Eropa dan musik populer terutama oleh sistem notasi musiknya, yang sudah digunakan sejak sekitar abad ke-16.[2] Notasi musik barat digunakan oleh komponis untuk memberi petunjuk kepada pembawa musik mengenai tinggi nada, kecepatan, metrum, ritme individual, dan pembawaan tepat suatu karya musik. Hal ini membatasi adanya praktik-praktik seperti improvisasi dan ornamentasi ad libitum yang sering didengar pada musik non-Eropa (bandingkan dengan musik klasik India dan musik tradisional Jepang) maupun musik populer.[3][4][5]
Sejak abad ke-2 dan abad ke-3 sebelum Masehi, di Tiongkok dan Mesir ada musik yang mempunyai bentuk tertentu. Dengan mendapat pengaruh dari Mesir dan Babilon, berkembanglah musik Hibrani yang dikemudian hari berkembang menjadi musik Gereja.
Musik itu kemudian disenangi oleh masyarakat, karena adanya pemain-pemain musik yang mengembara serta menyanyikan lagu yang dipakai pada upacara Gereja. Musik itu tersebar di seluruh Eropa kemudian tumbuh berkembang, dan musik instrumental maju dengan pesat setelah ada perbaikan pada alat-alat musik, misalnya biola dan cello. Kemudian timbulah alat musik Orgel. Komponis besar muncul di Jerman, Prancis, Italia, dan Rusia. Dalam abad ke 19, rasa kebangsaan mulai bangun dan berkembang. Oleh karena itu perkembangan musik pecah menurut kebangsaannya masing-masing, meskipun pada permulaannya sama-sama bergaya Romantik. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Mulai abad 20, Prancis menjadi pelopor dengan musik Impresionistis yang segera diganti dengan musik Ekspresionistis.


alhamidz pecinta tuhan

Referesnsi

  1. ^ "Classical", The Oxford Concise Dictionary of Music, Michael Kennedy (penyunting), (Oxford, 2007), Oxford Reference Online, diakses 23 Juli 2007
  2. ^ Chew, Geffrey & Rastall, Richard. "Notation, §III, 1(vi): Plainchant: Pitch-specific notations, 13th–16th centuries", Grove Music Online, ed. L. Macy (diakses pada 23 Juli 2007), grovemusic.com (akses berlangganan).
  3. ^ Malm, W.P./Hughes, David W.. "Japan, §III, 1: Notation systems: Introduction", Grove Music Online, ed. L. Macy (diakses pada 23 Juli 2007), grovemusic.com (akses berlangganan).
  4. ^ IAN D. BENT, DAVID W. HUGHES, ROBERT C. PROVINE, RICHARD RASTALL, ANNE KILMER. "Notation, §I: General", Grove Music Online, ed. L. Macy (diakses pada 23 Juli 2007), grovemusic.com (akses berlangganan).
  5. ^ Middleton, Richard. "Popular music, §I, 4: Europe & North America: Genre, form, style", Grove Music Online, ed. L. Macy (diakses pada 23 Juli 2007), grovemusic.com.

Rabu, 09 November 2011

Kegelisahan Tentang Diri

 


pencarian tuhan 

sahabat, seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti'untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa atar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episodesenang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?' pun ulai muncul di hati anda.
Sebenarnya, Allah setiap saat 'memanggil-manggil' kita untuk embali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya,terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupasehingga kalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada Allah. Hanya saja, teramatsedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan,panggilan-Nya ini.Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terusmenerus mempertanyakan 'Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya?
Apa makna kehidupan saya?,' dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam
ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian?
Mencari kebenaran? Mencari 'Al-Haqq'? Allah, percayalah, akan selalu
menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.


Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya
kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu.
Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para
utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara
seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari
kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Bentuk 'pancingan' semacam ini pula yang dialami oleh para pencari,
maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi
(ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa,
misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang
maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Ramses I. Hidup dalam
kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu 'galau'
ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu
menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan
ayahnya Ramses I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya,
normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau
menyembah ayahnya.
Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang
sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita
sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan,
mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau
sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini
terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi
pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak
sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita
menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi mencari Allah' yang
Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan
semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu
menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada
kita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak
menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari.
Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah,
membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap
hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar
telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja,
tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola
yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan
mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.
Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum
terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna
kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri
.
Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya
sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang
menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin
mencari Al-Haqq, dan 'rembesannya' kadang naik ke permukaan dalam bentuk
kegelisahan.
Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi
pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena
secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk
melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam
pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi
kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau
keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.
Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti
datang ke pengajian bukan dengan niat mencariNya tapi hanya untuk
melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja. Kegelisahan
hilang, dia pun pergi lagi.. Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya:

"Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di
Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar
beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia
menjangkau makna Qur'an?
Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur'an benar,
mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci
yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat,
dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman,
apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin?
Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur'an
terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya
pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur'an.
Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal
qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain
orang-orang yang disucikan/ mutahhiriin, (QS 56:77-79).
[Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan/ muthahhiriin (79)."
Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah
disucikan, sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas
dihadapannya? Jika demikian, apa gunanya pernyataan : "Semua jawaban
telah ada di Qur'an" baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri
dengan membaca terjemahan qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia
telah mendapatkan maknanya?
Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak
ingin mendengarkannya. 

Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang
semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah
potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa'
tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita
akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita
akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita
mencari tahu, kenapa anak kita menangis?
Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun,
sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari
dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya
ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak
terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan
yang lebih besar lagi.
Ia dipaksa-Nya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai
jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa
ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh,
dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan
bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil,
keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat
ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya.
Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang.
Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia
terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa
dirinya sebenarnya.
Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting
bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah
dengan air kegalauan: "Siapa diriku sebenarnya?".
Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan
sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang
pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah
ta'ala, yaitu Nabi Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput
Musa dan membawa Musa kepadanya.

Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya
"arafa nafsahu", untuk "arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan
bimbingan Syu'aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah
'arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa
Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali
misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah
menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Setiap orang dimudahkan untuk
mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu." (Shahih Bukhari no.
2026)

Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin
ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq
untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar
mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan "Siapakan
aku? Untuk apa aku diciptakan?" harus benar-benar telah tumbuh dalam diri
kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan
berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa
benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid
sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda.
"Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu", bukan semata-mata
artinya "siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya." Kata "
'Arafa", juga "Ma'rifat," berasal dari kata 'arif, yang bermakna
'sepenuhnya memahami', 'mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya';
dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata 'nafs', salah
satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).
Jadi, kurang lebih maknanya adalah "barangsiapa yang 'arif
(sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan 'arif pula
akan Rabbnya". Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah,
hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.
Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu 'arif akan Rabb kita,
maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas 'Ad-diin'.
'Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut 'Ma'rifatullah'
(meng- 'arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal–
perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan
orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang
terkenal: "Awaluddiina ma'rifatullah", Awalnya diin adalah ma'rifat
(meng-'arif-i) Allah.

Kamis, 22 September 2011

Mencari Seni yang Islami

Mencari Seni yang Islami

Seni selalu masuk dalam wilayah pembicaraan yang menarik dalam Islam, posisinya yang unik seringkali membangun dialog antara yang pro dan kontra. Bagaimana seni menurut Islam atau bagaimana Islam menurut seni? Atau adakah seni yang Islami dan seni yang tidak Islami? Dalam tataran yang lebih elementer saat bicara tentang halal atau haramnya seni di mata Islam, pertanyaan itu menukik: seni seperti apa yang seharusnya diharamkan dan seni seperti apa yang sebaiknya dihalalkan, disupport dan dikembangkan? 

Film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo yang menjadi Kontroversi

Dialog-dialog yang terbangun – dalam riuh kata-kata maupun dalam kesunyian hati masing-masing penikmatnya – hadir dengan segala macam konteks yang menyertainya. Menentukan karya seni mana yang layak atau tak layak sebagai representasi Islam, selain mengacu pada standar estetika, daya kreativitas, orisinalitas juga mempertimbangkan pentingnya menemukan ide-ide karya yang mampu berpijak pada konteks Islam yang lebih membumi.
alhamidz


Sebagai preparat penilaian itu, terlihat masih banyak yang harus kita gali dari kedalaman perspektif pemahaman Islam saat menuangkannya dalam sebuah karya seni.

Islam masih cenderung dipahami sebagai baju, sebagai packaging, sebagai sekedar ‘bahasa komunikasi’ dengan audiens. Sehingga banyak karya yang tampil di sekitar kita (lukisan, cerpen, film, sinetron, teater, puisi, lagu, dll.) terkesan ‘meminjam’ simbol-simbol yang sering dipersepsikan oleh khalayak sebagai representasi Islam: jilbab, peci, sajadah, Palestina, jihad, dan yang seperti itu.

Sehingga kita melihat seni Islam yang ditampilkan lebih cenderung berbau Islam, bertopeng Islam, belum menggali ke akar-akar terdalam nilai-nilai Islam yang hakiki. Dalam bahasa saya, belum sungguh-sungguh Islami.

Misalnya saat kita bicara tentang perjuangan Palestina, mengapa stereotype lama itu masih saja muncul? Pengungkapan secara verbal tentang kebencian pada kekejaman Yahudi (yang semua orang sudah tahu), jihad yang berarti perang sampai titik darah penghabisan (yang semua orang sudah tahu), bahasa visual yang berhias bentuk peluru, batu, darah, kafiyeh, nuansa dendam pada Yahudi (yang semua orang juga sudah tahu).

Tidak ada sesuatu yang baru kecuali pengulangan dan pengulangan tanpa inovasi kreativitas itu membosankan. Sejujurnya saya bertanya: dimana kecerdasan kita sebagai muslim untuk menggali sesuatu yang lebih fundamental dari itu semua? Bagaimana kita bisa menggunakan symbol-simbol Islam sebagai sebuah powerfull tools untuk bicara tentang - misalnya – memaknai konsep jihad secara benar menurut Islam.

Kita masih terjebak pada tataran dasar pemikiran ‘what to say’: apa yang akan saya ungkapkan dalam karya saya. Masih tergagap-gagap untuk memahami 'how to say'nya dengan cara yang sophisticated, efektif sekaligus inspiratif.

Seperti ketika misalnya saya menyukai seorang wanita, di detik itu juga saya langsung bilang ‘aku cinta kamu.’ Yang tentu saja akan mengagetkan sang wanita karena secara mental ia tak siap, karena kita tak menyiapkan penerimaannya dengan cukup baik. Kemungkinan kegagalan pernyataan cinta saya untuk diterima akan sangat besar. Tak ada daya tarik dan pemahaman insight yang cukup dari apa yang kita ungkapkan dengan mentah. Dan perasaan cinta kita akan terbanting sempurna karena ditolak atau ‘lebih parah lagi’ dicuekin.

Akan berbeda akhir ceritanya, jika kita tak langsung menembakkan ‘aku cinta kamu’ pada pertemuan pertama. Dengan melakukan proses pendekatan, mengerti karakter seperti apa wanita yang kita harapkan cintanya. Apa kebiasaannya, apa kesukaannya, idolanya siapa, sampai kita paham betul insight-nya. Sesuatu yang pada pertemuan pertama tersembunyi oleh penampilan luarnya. Insight inilah data paling berharga untuk amunisi kita dalam merancang sebuah moment yang luar biasa, saat waktunya tiba kita menyatakan cinta.

Opick dan lagu-lagu Islami-nya

Sebagai seniman muslim, kita harus mulai mendaki makna yang lebih tinggi lagi. Mulai lebih serius untuk memikirkan strategi ‘how to say’, mempelajari insight audiens sebagai target yang akan mengapresiasi karya kita, menggali lebih dalam lagi apa sesungguhnya nukleus Islam, nilai-nilai fundamental apa yang akan menjadi sumbangan Islam dalam membangun sebuah peradaban dunia yang lebih baik.

Saya berharap bahwa proses menuju karya yang lebih baik, lebih komprehensif, lebih menggetarkan dalam merepresentasikan nilai-nilai Islami yang sejati.

Apakah karya-karya yang saya hasilkan sudah Islami? Apakah tulisan-tulisan saya di blog ini sudah Islami? Apakah tingkah laku saya sudah Islami?

Jawaban yang pasti: belum. Tak mudah menemukan model ideal karya-karya Islami. Tapi kita bisa bercermin pada puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Taufik Ismail dan Gus Mus. Pada lantunan lagu-lagu Opick dan Kiai Kanjeng. Pada novel-novel Andrea Hirata. Pada beberapa film Hanung Bramantyo. 

Kyai Kanjeng berpentas di Finlandia

Karya-karya yang saya sebutkan barusan pastinya juga masih akan mengundang perdebatan. Good! Perdebatan juga bagus, menunjukkan hidupnya dinamika, kita perlu bergesekan untuk maju, bukan saling setuju tapi tak bergerak kemana-mana.

Bukankah sebuah perjalanan panjang dimulai dari sebuah langkah awal?

Karya seni Islami itu adalah proses pencarian yang terus koma, takkan pernah mencapai titik. Titik tertinggi hanyalah batas imajinasi kita sebagai manusia, tapi dengan iman yang utuh pada-Nya, imajinasi itu akan mengembara menuju-Nya.

Emha Ainun Nadjib

Tapi di tengah segala kekurangan yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, saya harus katakan salut untuk para seniman, sastrawan, desainer yang telah berkarya dengan intens sementara masih banyak di luar sana yang tak sempat lagi menggeluti nilai-nilai Islam karena terpenjara kehidupan profesionalisme, karier dan prestasi dunia.

Mari kita mulai dari diri kita sendiri, berkarya semampu kita. Seribu kritik dan saran yang saya tuliskan di sini, tak secuilpun layak disandingkan dengan karya nyata yang telah teman-teman sekalian kerjakan untuk merengkuh Ridlo-Nya.

Semoga ini menjadi ikhtiar kita semua untuk berjuang di jalan-Nya. Untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, mewujudkan cahaya Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.